Kairo
(ANTARA/XInhua-OANA) - Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab Urusan
Palestina Mohamed Sobeih, Sabtu (3/9), mengecam laporan PBB mengenai
serangan Israel terhadap armada kapal bantuan menuju Jalur Gaza, karena
memandang blokade Israel atas wilayah Palestina itu sebagai "sah".
Sobeih, yang mencap laporan PBB tersebut sebagai bias, mengatakan itu menandai reputasi PBB dan mendorong serangan serta perang, demikian laporan kantor berita resmi Mesir, MENA.
"Setiap orang tahu mengenai situasi di Jalur Gaza. Anak-anak dan orang lain menemui ajal akibat kekurangan obat gara-gara pengepungan. Israel telah menggunakan segala jenis senjata terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza," kata Sobeih.
Pada 31 Mei 2010, personel pasukan komando angkatan laut Israel melancarkan serangan terhadap rombongan bantuan enam kapal sipil di perairan Laut Tengah dalam perjalanan menuju Jalur Gaza, yang menghadapi blokade.
Delapan warga negara Turki dan seorang remaja Amerika-Turki tewas dan lebih dari 40 orang lagi cedera di kapal Mavi Marmara.
"Keputusan Israel untuk menaiki kapal tersebut dengan kekuatan sebesar itu dalam jarak yang jauh dari zona blokade dan tanpa peringatan terakhir sebelum mereka menaiki kapal adalah berlebihan dan tak beralasan," kata laporan PBB tersebut.
Namun, laporan itu juga mensahkan serangan militer Israel terhadap kapal sipil di perairan internasional dengan menyatakan upaya oleh rombongan tersebut untuk mengirim pasokan bantuan guna meringankan penderitaan rakyat, ke Jalur Gaza yang secara tidak sah diblokir, adalah tindakan kejam.
Laporan itu disusun oleh panel empat anggota yang terdiri atas mantan perdana menteri Selandia Baru Geoffrey Palmer, mantan presiden Kolombia Alvaro Uribe, warganegara Israel Joseph Alvaro dan warga Turki Ozdem Sanberk.
Pemerintah Turki, yang tak puas dengan laporan tersebut --yang gagal menghasilkan permintaan ma`af dari pemerintah Israel, Jumat (2/9), memutuskan untuk mengusir utusan Israel, menurunkan hubungan diplomatiknya dengan Israel jadi tingkat sekretaris dua, dan membekukan kerja sama militer dengan negara Yahudi itu.
Israel membalas dengan mengeluarkan pernyataan pada hari yang sama, dan mengatakan Tel Aviv akan berusaha menyelesaikan sengketa tersebut, demikian laporan Xinhua --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Ahad.
Israel menyampaikan kembali "penyesalannya" atas jatuhnya korban jiwa tapi menjelaskan tak ada permintaan ma`af yang akan disampaikan.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak kedua negara yang pernah menjadi sekutu trsebut agar mengakhiri pertikaian mereka yang ia percaya dapat memiliki dampak pada Timur Tengah, secara lebih luas.
Sobeih, yang mencap laporan PBB tersebut sebagai bias, mengatakan itu menandai reputasi PBB dan mendorong serangan serta perang, demikian laporan kantor berita resmi Mesir, MENA.
"Setiap orang tahu mengenai situasi di Jalur Gaza. Anak-anak dan orang lain menemui ajal akibat kekurangan obat gara-gara pengepungan. Israel telah menggunakan segala jenis senjata terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza," kata Sobeih.
Pada 31 Mei 2010, personel pasukan komando angkatan laut Israel melancarkan serangan terhadap rombongan bantuan enam kapal sipil di perairan Laut Tengah dalam perjalanan menuju Jalur Gaza, yang menghadapi blokade.
Delapan warga negara Turki dan seorang remaja Amerika-Turki tewas dan lebih dari 40 orang lagi cedera di kapal Mavi Marmara.
"Keputusan Israel untuk menaiki kapal tersebut dengan kekuatan sebesar itu dalam jarak yang jauh dari zona blokade dan tanpa peringatan terakhir sebelum mereka menaiki kapal adalah berlebihan dan tak beralasan," kata laporan PBB tersebut.
Namun, laporan itu juga mensahkan serangan militer Israel terhadap kapal sipil di perairan internasional dengan menyatakan upaya oleh rombongan tersebut untuk mengirim pasokan bantuan guna meringankan penderitaan rakyat, ke Jalur Gaza yang secara tidak sah diblokir, adalah tindakan kejam.
Laporan itu disusun oleh panel empat anggota yang terdiri atas mantan perdana menteri Selandia Baru Geoffrey Palmer, mantan presiden Kolombia Alvaro Uribe, warganegara Israel Joseph Alvaro dan warga Turki Ozdem Sanberk.
Pemerintah Turki, yang tak puas dengan laporan tersebut --yang gagal menghasilkan permintaan ma`af dari pemerintah Israel, Jumat (2/9), memutuskan untuk mengusir utusan Israel, menurunkan hubungan diplomatiknya dengan Israel jadi tingkat sekretaris dua, dan membekukan kerja sama militer dengan negara Yahudi itu.
Israel membalas dengan mengeluarkan pernyataan pada hari yang sama, dan mengatakan Tel Aviv akan berusaha menyelesaikan sengketa tersebut, demikian laporan Xinhua --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Ahad.
Israel menyampaikan kembali "penyesalannya" atas jatuhnya korban jiwa tapi menjelaskan tak ada permintaan ma`af yang akan disampaikan.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak kedua negara yang pernah menjadi sekutu trsebut agar mengakhiri pertikaian mereka yang ia percaya dapat memiliki dampak pada Timur Tengah, secara lebih luas.